SEJARAH BAHASA MELAYU
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia,
penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa
yang merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting
bagi bahasa-bahasa di dunia. [5], [6]
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa.[7]
Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat,
meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan
perbedaan versi bahasa yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan
bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama, yaitu
- Bahasa Melayu Kuna (abad ke-7 hingga abad ke-13)
- Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
- Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu
tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di
berbagai tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena
penyebaran penduduk dan isolasi, maupun melalui kreolisasi.
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis
dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa
Melayu untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya
kekuasaan Portugis di Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di
pesisir Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan
Filipina, dokumen-dokumen tertulis di kertas dalam bahasa Melayu mulai
ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin kerajaan pada abad ke-16 juga
diketahui telah menggunakan bahasa Melayu. Karena bukan penutur asli
bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu yang "disederhanakan"
dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat, yang lebih populer
sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.[7]
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris)
mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena menganggap
penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi pada
paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan
alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan
buku-buku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu
dan bahkan membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda
dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa
Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka"[8] atau "bahasa Melayu van Ophuijsen". Van Ophuijsen
adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan bahasa Melayu dengan
huruf Latin untuk penggunaan di Hindia-Belanda. Ia juga menjadi
penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20
tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal
luas di kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi
identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres
Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat
menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa,
sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah populer
dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di
dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain
varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan penggunaannya
berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat
meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang
Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi
menggunakan bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi
semakin populer.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis Bahasa Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN,
dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur
dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, tetapi
ASEAN sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu